Mau Bagaimana Lagi? Rp Kalah Telak vs Ringgit
Hembusan angin menerpa wajah nggak nyantai banget ini. Rasanya tak ubah kita berada sebelah tukang sate yang sedang memanggang. Ya, memang suhu udara di Entikong, Kalimantan Barat, sedang panas tak karuan lantaran awan menyimpan curah hujan yang siap terjun menghujam tanah bumi. Jam saat itu menunjukkan pukul 13.00 waktu setempat. Dan benar saja, 30 menit kemudian, turunlah hujan.
Entikong adalah kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Meski hujan tak deras, namun cukup melunturkan debu tanah yang hinggap di daun. Dan tak lama, udara pun berubah menjadi sejuk. Disitulah rasa ingin menyantap makanan ringan datang. Kebetulan, banyak kedai-kedai makanan di sekitar lokasi pos pemeriksaan kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia itu. Pilihan pun jatuh di sebuah kedai kopi yang tidak terlalu besar ukurannya. Cukup untuk menampung 10 hingga 15 orang pembeli.
Singkat kata, perut sudah cukup kenyang dan waktunya membayar apa yang dibeli. Rupanya, ketika Sri Kusmiati sang penjual sudah menghitung harga semua makanan yang dibeli, dia menawarkan yang tak biasa kita temui di kedai kecil. "Bapak mau bayar dengan Rupiah atau Ringgit?" ujar Sri dengan logat khas Melayu. "Tapi kalau bisa, bayar pakai Ringgit sajalah."
Ternyata, transaksi di mall pun kalah variatif oleh kedai-kedai kecil di Entikong. Mereka sudah siap dengan dua mata uang dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan secara terang-terangan, mereka menyarankan agar sebaiknya bayar dengan Ringgit Malaysia (RM) saja. Dan cukup ironis, karena tak jauh dari lokasi kedai, terpampang papan reklame besar bertuliskan "Cintai Rupiah" dan tulisan itu bisa terbaca dari jarak 300 meter. Inilah ironi ekonomi yang terjadi di perbatasan.
Keindahan
Tentunya ada penyebab terjadinya hal tersebut. Berdasarkan keterangan yang didapat dari penduduk sekitar Entikong, penggunaan RM yang lebih dominan sebagai alat transaksi ketimbang Rupiah (Rp), utamanya lantaran tiga penyebab.
Sebab utamanya adalah Malaysia lebih menjaga keindahan bentuk uang RM, karena memang ada rasa malu bagi mereka bila saat transaksi, uang mereka lusuh. Berbeda jauh dengan warga Indonesia. Mereka cuek saja dengan kondisi uang Rp betapapun bentuknya.
Akibatnya para pelancong asal Malaysia dan pekerja Indonesia yang bekerja di Malaysia atau tenaga kerja Indonesia (TKI), yang datang ke Entikong jarang menukar RM menjadi Rp meski sudah masuk wilayah Indonesia. Dan ini yang kemudian memaksa para pelaku bisnis di sekitar Entikong, baik yang kelas kedai hingga toko besar, menyediakan RM.
Penyebab sekunder, Rp harus tetap ada karena pelanggan mereka tak cuma TKI dan warga Malaysia yang ada di situ, tapi juga misalnya tamu atau kerabat penduduk Entikong yang datang dari jauh. "Misalnya kerabat penjual kedai sebelah kedai saya ini datang dari Jakarta. Mereka manalah punya Ringgit? Jadi kita tetap transaksi pakai Rupiah." Sayangnya, uang Rupiah banyak yang lusuh dan jelek. Jadi penduduk sini pun bila dapat Rupiah, sebagian mereka tukar jadi Ringgit," kata Sri.
Lantaran hal itu pula, bermunculan money changer ketengan alias valuta asing jalanan. "Banyak yang perlu Ringgit disini, sedangkan money changer cuma ada satu di sini dan jauh sekali. Jadi kitalah yang harus menyediakan Ringgit, juga sekalian sebagai mata pencarian tambahan," kata Solihin, seorang penjual valuta asing jalanan.
Mereka, tentunya, mengambil keuntungan tipis dari nilai tukar RM-Rp. Penyebab kedua, para pedagang, terutama kelas kedai, mengambil keuntungan dari nilai kurs RM vs Rp. Misalnya dari tagihan makanan yang dibayarkan tadi, yang totalnya seharga Rp 17 ribu atau 4,82 RM. Namun Sri mengatakan, "Rp 17 ribu atau 5 RM, Pak." Sehingga bila secara riil maka 5 RM sama dengan Rp 17.647 atau lebih mahal Rp 647 dari tagihan riil.
Penyebab ketiga, imbas dari banyaknya TKI yang mondar-mandir RI-Malaysia, serta wilayah yang jauh dari 'jangkauan' pengiriman barang, menjadikan produk ‘negara tetangga’ banyak dijumpai. Tentunya dengan banyak produk tetangga tadi, maka transaksinya pakai uang negara tenangga.
Jarak
Beranjak dari Entikong, ke wilayah perbatasan lainnya Badau. Adapun Badau adalah sebuah kecamatan diujung timur Kalimantan Barat yang juga berbatasan langsung dengan Malaysia. Bahan makanan seperti daging segar, bahan bangunan, dan bahkan bahan bakar minyak (BBM), masih bergantung dari ‘seberang’. Bukan tanpa alasan barang itu dengan mudah masuk Badau, untuk memenuhi kebutuhan daging segar seperti ayam, ikan, dan sapi. Penyebabnya memang rasional.
Impor dari Malaysia ke Badau menjadi solusi, karena jaraknya yang hanya 1 jam perjalanan, dirasa lebih efektif dibandingkan harus mendatangkan dari kota terdekat Indonesia yang jaraknya 4 jam perjalanan yaitu Putussibau menuju Badau.
Namun 4 jam dari Putussibau ke Badau lebih baik daripada dari Pontianak ke Entikong. Lantaran jalanan dari Putussibau ke Badau kondisinya jauh lebih bagus ketimbang Pontianak ke Entikong. Alhasil perjalanan Pontianak ke Entikong lebih lama 2 jam alias 6 jam!
Maka apa konsekuensinya? Kualitas daging yang ke Badau apalagi Entikong, tentu menurun plus biaya angkut yang menjadi mahal. Itulah sebabnya daging-daring di daerah perbatasan kebanyakan impor. Itulah hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya pertarungan Rp vs RM di wilayah perbatasan. Dan hasilnya, mau tak mau kita harus akui bahwa Rp kalah telak di kawasan perbatasan.
Satu lagi, kebutuhan pokok di wilayah perbatasan yang sangat bergantung dengan negara tetangga adalah listrik. Pasokan listrik disana sebagian besar disuplai dari Malaysia yang bekerjasama dengan PLN. Ini disebabkan oleh daya dari PLN tidak mencukupi untuk kebutuhan warga perbatasan. Tak pelak, mayoritas warga membayar tagihan listrik harus menggunakan RM.